BLOG NGEHULENG ID - Pada program Future Combat Air System (FCAS), ketegangan antara Dassault Aviation dan Airbus kembali memuncak akibat perselisihan pembagian beban kerja yang menghambat kemajuan fase desain bersama. Meskipun kontrak tahap pertama senilai €3,2 miliar sudah ditandatangani oleh Prancis, Jerman, dan Spanyol pada Desember 2022, proses kolaborasi terhenti karena Airbus memegang dua pertiga suara dalam pengambilan keputusan, sedangkan Dassault sebagai prime contractor New Generation Fighter (NGF) hanya memiliki satu pertiga suara, sehingga tidak dapat mengarahkan proyek sesuai visinya. Airbus mengklaim telah mencapai “kemajuan signifikan”, termasuk pemilihan konsep, dan menyatakan siap memasuki kontrak fase kedua. Namun, Eric Trappier, CEO Dassault Aviation, menyebut metode pembagian pekerjaan berdasarkan proporsi investasi “absolutely lethal” bagi kerjasama Eropa karena akan menambah biaya dan memundurkan jadwal.
Latar Belakang Program FCAS
Pada Desember 2022, Prancis, Jerman, dan Spanyol menandatangani kontrak tahap pertama FCAS senilai €3,2 miliar (US$ 3,6 miliar) bersama Dassault, Airbus, Indra Sistemas, dan Eumet untuk riset, teknologi, dan desain awal
sistem udara tempur generasi keenam. Dassault ditunjuk sebagai penanggung jawab NGF komponen pesawat tempur utama dengan demonstrator pesawat yang direncanakan terbang pertama kali pada 2029 setelah fase dua dimulai pada 2026.
Persoalan Pembagian Beban Kerja
Airbus, mewakili Jerman dan Spanyol, menuntut alokasi volume pekerjaan sesuai kontribusi finansial masing-masing negara. Menurut Trappier, skema tersebut justru memperumit dan memperlambat proses, karena setiap keputusan memerlukan konsensus mayoritas dua pertiga Airbus, sehingga Dassault tidak bisa mengeksekusi rencana teknisnya secara mandiri. Sejarah konflik serupa pernah terjadi di era Eurofighter Typhoon, di mana perbedaan kebutuhan antara Prancis (butuh kemampuan nuklir dan operasi kapal induk) dan mitra lainnya membuat kerjasama terpecah.
Posisi Airbus dan Pernyataan Terbaru
Airbus menyatakan FCAS telah mencapai milestones penting, termasuk review pemilihan konsep pada kontrak fase 1B, dan siap melanjutkan ke kontrak fase kedua. Guillaume Faury, CEO Airbus, bahkan membayangkan integrasi antara FCAS dan program saingan GCAP (dengan Inggris, Italia, dan Jepang) untuk mengoptimalkan dana dan teknologi.
Implikasi Strategis
Keterlambatan FCAS berpotensi melemahkan kedaulatan
industri pertahanan Eropa dan memberi ruang bagi program non-Eropa seperti F-35. Tanpa solusi kerjasama, Prancis bisa memilih jalur mandiri mengembangkan NGF khusus (termasuk varian kapal induk dan nuklir) sementara Jerman dan Spanyol melanjutkan proyek sendiri mengulang pola terpisah pada 1980-an. Jika kesepakatan tertunda, demonstrator fase dua yang dijadwalkan terbang pada 2029 mungkin akan mundur lebih jauh.